Iklan
Rmol News ||SURABAYA,- Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya belum lama ini membentuk dan mengesahkan Dewan Kesenian Kota Surabaya (DKKS). Keberadaan DKKS ini otomatis menggantikan kedudukan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang lebih dulu eksis sejak 1971.
Hal ini lantas disesalkan oleh banyak pihak, termasuk Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Tidak hanya menyesalkan, DKJT juga mengecam upaya pemkot tersebut.
"Upaya pembentukan DKKS ini sebagai wujud mengaborsi kebudayaan terhadap lembaga kesenian," kata Ketua Koordinator DKJT M Taufik Hidayat, Selasa (21/6).
Taufik menuturkan, munculnya dua dewan kesenian di Kota Pahlawan menunjukan bahwa Wali Kota Eri Cahyadi tidak mampu bersikap bijaksana.
Sejak masalah ini bergulir, Taufik mengamati sikap pemkot terlalu angkuh dan kurang komunikatif. Hal itu terlihat mulai dari dialog di Komisi D DPRD Surabaya, lalu pertemuan dengan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Irvan Widyanto bersama Chrisman Hadi serta rombongan DKS, hingga Hoslih Abdullah yang secara tiba-tiba ditunjuk sebagai ketua panitia pembentukan DKKS.
“Sebenarnya DKS sangat akomodatif terhadap kepentingan wali kota, namun wali kota tidak mampu bersikap bijaksana, adaptif, dan komunikatif terhadap DKS. Karena audiensi yang selama ini terjalin penuh tipu muslihat, semestinya disampaikan saja sejak awal,” ucapnya.
Karena itu, pria yang lekat disapa Taufik Monyong ini menyayangkan sikap wali kota. Taufik lantas mengibaratkan polemik ini layaknya Belanda yang sedang masuk ke dalam ruang kerja Wali Kota Surabaya.
“Jadi, wali kota ini sudah menjadi Londo Blankonan, yang tak lagi mau menerima aspirasi masyarakat seniman. Saya kira Pak Eri tidak memahami sejarah itu, lalu dikompori, diberi bumbu micin dan garam oleh orang-orang yang punya kepentingan praktis, yang tidak mampu menjaga marwah kelembagaan,” selorohnya.
Hal yang disampaikan Taufik bukan tanpa alasan. Sebab, DKS tak terlepas dari sejarah lahirnya lembaga dewan kesenian se-Indonesia.
Taufik menjelaskan, berkat DKS yang muncul 1971 dan Dewan Kesenian Jakarta yang lahir tahun 1968, sehingga dapat memunculkan dewan kesenian yang lain. Bahkan sampai memicu digedoknya Inmendagri 5A tahun 1993 sebagai payung hukum dewan kesenian se-Nusantara.
"Secara de facto DKS diakui oleh publik dan seniman se-Surabaya. Kami besar itu karena DKS, kami besar itu karena adanya Balai Pemuda, itu jauh sebelum Eri Cahyadi jadi wali kota,” tandas dia.
Kendati demikian, Taufik tak mau larut terhadap kemunculan DKKS. Pihaknya melalui DKJT akan tetap mengakomodir DKKS dan DKS. Namun yang menjadi perlu adalah pandangan DKJT terhadap dua lembaga itu.
“DKJT tetap akan mengakomodir kedua lembaga dewan kesenian tersebut tergantung dari fungsi masing-masing. Kalau DKS kan punya substansi, namun kalau DKKS itu hanya fungsional wali kota,” tuturnya.
Menurut telaah Taufik, kehadiran DKKS terlalu dipaksakan. Tak ayal, dia menyebut DKKS sebagai wujud aborsi kebudayaan terhadap kelembagaan.
“Ketika nanti berganti wali kota, maka kita akan berusaha meluruskan sejarah DKS itu yang sudah sekian lama tidak terputus. Pak Chrisman dan kawan-kawan ini menjaga marwah itu. Bukan mengaborsi dan mem-bypass perjalanan kesejarahan,” tuntasnya.
Sedangkan menurut Dewan Penasehat DKJT Bambang Boediono, pembentukan DKKS merupakan praktik politik devide at impera (pecah belah) oleh Pemkot Surabaya. Akademisi FISIP Unair ini pun turut menyesalkan upaya tersebut.
"Praktik politik seperti ini lazim dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga dioperasikan oleh rezim otoriter orde baru," tegasnya.
Selain itu, Bambang juga menilai pembentukan DKKS sangat bertentangan dengan prinsip berdemokrasi. Hal ini tak selaras dengan pemerintahan saat ini yang merupakan hasil dari proses demokrasi.
"Pada dasarnya, pemkot sedang mempertontonkan praktik adigang, adigung, dan adiguno. Sopo siro sopo ingsun dalam politik. Keangkuhan politik yang digelar di tengah budaya arek yang terbuka dan demokratis," bebernya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga serta Pariwisata (Disbudporapar) Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan, keberadaan DKS sudah selesai tahun 2019. Kini, yang diakui oleh Pemkot Surabaya adalah DKKS yang diketuai oleh Hery Suryanto alias Cak Suro.
“Kepengurusan DKS sudah selesai di tahun 2019, masa baktinya 2014-2019,” ujar Wiwiek.
Saat ini, pihaknya fokus mengembangkan para seniman di Kota Surabaya dengan bermitra bersama lembaga-lembaga kesenian yang ada.
Dengan terbentuknya DKKS, Wiwiek berharap seniman di Surabaya semakin optimal, sehingga amanat UU Nomor 5 tahun 2017 bisa terpenuhi.
Ketika disinggung pembentukan DKKS sebagai upaya untuk menandingi DKS, Wiwiek menolak berkomentar. Namun dia berjanji akan mengakomodir kebutuhan seniman Surabaya.
“Tidak ada. Sudah kami sampaikan, kami akan mengakomodir kebutuhan seniman-seniman di Kota Surabaya,” pungkas Wiwiek.
Penulis :Alf
Baca juga:
"Berita Terbaru Lainnya"
"Berita Terbaru Lainnya"